Selasa, 27 Desember 2011

PERENCANAAN KONSERVASI TANAH DAN AIR (Perencanaan Konservasi Partisipatif)


 Erosi merupakan salah satu masalah lahan sejak pengelolaan lahan dilakukan secara intensif. Hal tersebut berbanding lurus dengan kebutuhan sandang, pangan, papan, serta sejalan ppula dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk. Seperti apa yang dikatakan Lal (1994), menyatakan bahwa produktivitas lahan seluas ±20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol atau naik menjadi tidak ekonomis lagi disebabkan oleh erosi atau degradasi yang disebabkan oleh erosi.
Penurunan produktivitas lahan dimana erosi terjadi baru merupakan on-site effect dari erosi, belum termasuk kerugian yang disebabkan oleh off-site effect dari erosi seperti sedimentasi sungai, waduk, jaringan irigasi, dan berbagai kerusakan lainnya. Untuk negara tropis seperti Indonesia, dimana potensi erosi begitu besar, baik akrena faktor alami maupun karena aspek pengelolaan lahan, kerugian yang diakibatkan oleh erosi tidak akan kalah besarnya dengan yang terjadi di negara subtropika. Dengan besarnya resiko yang akan terjadi, maka pencegahan erosi merupakan aspek yang tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan  lahan, baik untuk pertanian maupun penggunaan lain. Pencegahan tersebut yaitu pencegahan erosi yakni dengan tindakan konservasi tanah dan air yang sudah harus diperhitungkan sejak perencanaan penggunaan lahan dilakukan. Selanjutnya perlu Fdilakukan evaluasi dari perencanaan dan teknik konservasi tersebut agar dapat diyakini bahwa sistem pengelolaan lahan yang diterapkan sudah memadai untuk terwujudnya sisitem pengelolaan lahan secara berkelanjutan.
Pengelolaan lahan untuk mencegah erosi ini ditekan sampai di bawah ambang batas erosi diperbolehkan.
Perencanaan konservasi tanah dapat menggunakan model pendugaan erosi. Terdapat tiga alasan mengapa digunakannya permodelan erosi untuk perencanaan konservasi tanah, yaitu (1) model erosi dapat digunakan sebagai alat predikasi untuk menilai atau menaksir kehilangan tanah yang ebrguna untuk perencanaan konservasi tanah, perencanaan proyek, inventarisasi erosi tanah, dan dasar pembuatan peraturan; (2) model-model matematik yang didasarkan pada proses fisik dan kapan erosi terjadi sehingga dapat membantu para perencana konservasi tanah dalam menentukan targetnya untuk menurunkan erosi, serta (3) model dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami proses-proses erosi dan interaksinya dan untuk penetapan prioritas penelitian.
Secara ideal, metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu dapat diandalkan, secara universal dapat digunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum, konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan serta mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi tanah. USLE merupakan salah satu metode alternatif yang memenuhi persyaratan serta cukup konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan yakni menggunakan enam faktor erosi dalam proses perhitungan. Model ini juga cukup mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi, diantaranya karena berbagai percobaan untuk mendapatkan nilai faktor C (crop) dan P (pengelolaan) telah banyak dilakukan di Indonesia sehingga model ini dapat diaplikasikan dalam kondisi yang relatif sesuai.
Metode USLE mempunyai kelemahan yang kurang akurat yakni seringkali terlalu overestimate. Salah satu yang kurang disadari oleh para pengguna model ini adalah berhubungan dengan skala penggunaan, misalnya penggunaan USLE untuk memprediksi erosi pada skala DAS. USLE berfungsi baik untuk skala plot sedangkan untuk skala DAS dapat menjadi overestimate, salah satunya karena faktor filter sediemn tidak terakomodasi, namun USLE bermanfaat dalam hubungannya dengan on-site effect dari erosi. Dengan demikian USLE masih tergolong layak digunakan untuk perencanaan teknik konservasi skala usaha tani
Dimana on-site effect dari erosi menjadi pertimbangan utama. Untuk perencanaan konservasi tanah pada skala yang lebih luas, akan lebih realistis jika digunakan model-model yang merupakan pengembangan dari USLE.
Di Indonesia telah dikembangkan program DSS (Descision Support System) untuk konservasi tanaha dan air. Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2005 oleh Balai Penelitian Tanah. Program ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam membuat rekomendasi pengelolaan lahan dengan cara memilih tindakan konservasi tanah dan air yang tepat sesuai dengan kondisi biofisik lahannya sehingga memudahkan perencana dan pengguna dalam mengambil keputusan untuk menentukan sistem pengelolaan yang tepat.
Metode lain yang digunakan adalah contoh model untuk skala DAS yang merupakan pengembangan dari model USLE adalah SLEMS, CALSITE, RUSLE, dan WEPP. SLEMSA ( Soil Loss Estimator for Southtern Afica) menggunakan parameter yang sama dengan model USLE tetapi telah dimodifikasi dan diadaptasikan dengan kondisi daerah dan iklim di Zimbabwe (Afrika Selatan) khususnya pada suatu bentang lahan di dataran tinggi. Meskipun pendekatan terhadap model USLE sudah dilakukan untuk model ini  namun secara spesifik lokasi, model ini belum dapat digunakan di daerah lain yang berbeda kondisinya.
Perencanaan konservasi tanah dan air dapat dilakukan salah satunya dengan pendekatan dan dilakukan oleh masyarakat. Jika hal tersebut dilakukan maka termasuk dalam Perencanaan Konservasi Partisipatif. Keunggulan dari sistem perencanaan ini adalah (1) meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan; (2) masyarakat mau dan percaya diri dalam membuat perencanaan konservasi tanah dan air di lingkungannya; (3) masyarakat merasa dihargai karena karyanya menjadi perhatian semua pihak; serta (4) menciptakan kerjasama yang sinergis antar stakeholder (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Namun sistem ini juga mempunyai kelemahan  yaitu (1) masih diperlukan sosialisasi untuk menggugah kesadaran masyarakat; (2) perlunya pendampingan dalam proses kemandirian dan mengakses sumberdaya; (3) pendampingan kurang efektif bila tenaga pendamping berganti-ganti dari tahun ke tahun; dan (4) membutuhkan waktu yang lama untuk menciptakan kerjasama yang sinergis.
Perencanaan konservasi partisipatif  harus memperhatikan aspek-aspek diantarnya yaitu ruang lingkup, gambaran lokasi, sosialisasi,  serta participatory rural apraisal (PRA).
Ruang lingkup ini mencakup lingkup kegiatan perencanaan konservasi tanah dan air secara partisipatif meliputi identifikasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, pemilihan alternatif lokasi kegiatan, penyiapan masyarakat, pendampingan masyarakat dalam melaksanakan PRA, pendampingan masyarakat dalam penyusunan Rencana Konservasi Tanah dan Air (RKTA), serta pembentukan kelompok masyarakat peduli lingkungan atau kelompok konservasi tanah dan air (KKTA).
Gambaran lokasi adalah mengetahui bagaimana keadaan daerah yang akan dilakukan  tindakan konservasi tanah dan air., baik secara fisik, biologi serta kondisi sosial. Gambaran ini didapat bukan dari hasil menduga-duga tetapi hasil dari observasi lapang.
Sosialisasi tentang konservasi merupakan langkah awal yang wajib dilaksanakan karena kegiatan ini bertujuan untuk membentuk pemahaman mengenai kegiatan konservasi.  Kegiatan sosialisasi ini dibagi menjadi dua yaitu (a) sosialisasi di lingkungan Pemerintah Daerah yang tentunya dilakukan setelah koordinasi dan ditentukannya peserta yang terkait dengan konservasi; (2) sosialisasi kepada masyarakat yang dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan kecamatan dan kelurahan atau desa. Sosialisasi di lingkungan pemerintah diharapkan mampu meningkatkan pemahaman petugas tetapi juga umpan balik atau masukan tentang kondisi daerah dan upaya-upaya konservasi, baik yang sudah, sedang, dan akan dilakukan sehingga program-program terkait dengan konservasi dapat disinergikan. Sosialisasi pada masyarakat menerangkan tentang masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam jangka panjang maupun pendek. Selain itu untuk meningkatkan pemahaman lingkungan dan pentingnya dilakukan kegiatan konservasi  dan juga peran penting masyarakat dalam melakukannnya. Oleh karena itu diperkenalkan alternatif model-model konservasi yang dapat mempertahankan dan meningkatkan ekonomi serta pendapatan masyarakat.
Participatory rural apraisal (PRA) dilakukan setelah kesepakatan darim masyarakat sudah didapat. Untuk lebih memacu masyarakat dalam keterlibatannya dalam kegiatan konservasi maka masyarakat perlu difasilitasi untuk melaksanakan PRA.  Kegiatan PRA adalah kegiatan masyarakat untuk mengenali kondisi dan permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungannya yang kemudian secara mandiri menganalis, menyimpulkan, dan merencanakan penanganan permasalahannya. Kegiatan PRA ini dilakukan dengan tahapan (1) pengantar, penjelasan teknik PRA; (2) pemantapan kelompok-kelompok PRA; (3) penelusuran lokasi erosi; (4) penentuan prioritas masalah; (5) penyusunan darft RKTA; (6) pembentukan kelompok konservasi tanah dan air (KKTA).



KESIMPULAN
Konservasi memerlukan dukungan dari semua pihak terutama masyarakat yang terkait sehingga dapat mewujudkan kelestarian alam. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat serta aparat yang terkait. Masyarakat merupakan subyek pelaku konservasi karena lebih tahu kondisi dan permasalahan wilayah dimana tempat tersebut mereka tinggali. Untuk itu  mereka diajak bermitra dalam penyelanggaraan kegiatan konservasi.


DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Lal R. 1994. Soil Erotion by Wind and Water: Problem and Prospects. Florida: Soil and Water Society

Tidak ada komentar:

Posting Komentar