Minggu, 01 Januari 2012

PROSPEK PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU


Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 tahun 2007, HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. HHBK ini merupakan sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu adalah barang yang telah dipungut secara rutin sejak hutan dikenal manusia, dan diambil manfaatnya untuk berbagai tujuan, seperti meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sekitar hutan. Tentunya dengan pemanfaatan yang optimal dan intensif serta terencana dari industry hulu hingga hilir.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non-kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, sutera alam, gondorukem, dll. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri.
Prospek HHBK dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan adanya batasan pemanenan kayu sebagai komoditi utama hutan. Makalah ini akan menyajikan beberapa hasil penelitian ekonomi terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK).  Penyajian makalah ini ditujukan untuk melihat seberapa besar prospek HHBK untuk dikembangkan dan kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat, agar dapat menarik minat para masyarakat dalam mengembang usaha pada HHBK.
Produk HHBK yang disajikan terdiri dari 5 komoditas HHBK unggulan nasional (bambu, sutera alam, lebah madu, gaharu dan rotan) dan komoditas unggulan daerah. Hasil hutan bukan kayu unggulan nasional tersebut terdiri dari 5 komoditi, yaitu sutera alam, gaharu, bambu, rotan, dan lebah madu. Lima komodoti tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No.35/Menhut-II/2007.

a.       Sutera alam
Pengembangan persuteraan alam yang merupakan kegiatan agroindustri yang meliputi pembibitan ulat sutera, budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, pertenunan, pembatikan/pencelupan, garmen dan pembuatan barang jadi lain termasuk pemasarannya. Sebagai contoh studi kasus pengembangan ulat sutera si Cianjur. Dalam penyediaan ulat sutera, setiap petani menerima ulat kecil instar 3 dari perusahaan intinya untuk memelihara ulat tersebut atau kelompok tani yang telah mampu memelihara ulat kecil. Bibit telur yang diproduksi adalah jenis Bivoltin, dengan sumber bibit telur ulat berasal dari Perum Perhutani. Namun, sampat saat ini, sertifikasi telur belum dapat dilakukan.
Kabupaten Cianjur hingga saat ini baru mengembangkan industri benang sutera, namun benang yang dihasilkan dari reeling dan re-reeling dari mesin sederhana kualitasnya masih belum optimal. Di Kabupaten Cianjur, ada kelompok yang akan memproduksi benang dan bersedia menjadi mitra petani yaitu PT. Petromat Surya Nusantara, KUB Aurarista dan Vedca.
Dalam prosesnya, benang sutera yang dihasilkan dari reeling dan re-reeling setelah di twisting digunakan untuk kegiatan pertenunan. Daerah pertenunan kain sutera antara lain di Sukabumi, Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Kebutuhan benang sutera untuk Jawa Barat adalah sebanyak 1100 kg pada tahun 2007. Kebutuhan benang sutera dunia saat ini mencapai 118.000 ton per tahun, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan benang 81,5 ton/tahun. Sementara kebutuhan benang sutera domestik 700 ton/tahun, sisanya sebesar 618,5 ton di impor dari China. Sementara kebutuhan kain sutera untuk industri batik, berdasarkan hasil survey pada tahun 2003, yaitu :
o     Pekalongan : 400.000 m setara dengan 40 ton benang
o     Solo : 350.000 m setara dengan 35 ton benang
o     Cirebon : 250.000 m setara dengan 25 ton benang
o     Garut & Tasikmalaya : 150.000 m setara dengan 15 ton benang

Tingkat produksi kokon hasil pemeliharaan petani masih sangat beragam, yaitu berkisar dari 12 – 43 kg per boks. Dengan produksi kokon sebesar 8.220 kg per tahun. Untuk tingkat perkembangan harga saat ini harga telur ulat sutera 45.000/box belum termasuk ongkos kirim. Jumlah per boks 25.000. Harga ulat kecil untuk petani pemelihara ulat besar Rp. 125.000,-. Harga kokon masih berfluktuasi, berkisar Rp. 13.000 – Rp. 25.000 /kg. Sedangkan harga benang sutera saat ini antara 280.000 per kilogram (Armando, 2008).
Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka prospek budi daya ulat sutera di masa mendatang akan sangat cerah. Apalagi dengan berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai denga meningkatnya arus kunjungan wisatawan asin yang ternyata menberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negeri. Hal ini dapat diharapkan akan menamabah peluang bagi usaha budi daya ulat sutera dan kain sutera. Berdasarkan hasil kajian kelayakan finansial budidaya ulat sutera yang dilakukan di Taroggong dan kawasan Garut selatan pada lahan rakyat dengan luasan 1 ha, diperoleh nilai feasibilitas : BEP = Rp 1.587.702, payback period = 2,5 th (2 th 6 bulan), NPV = Rp 4.902.000 (estimasi rr=12% dalam waktu 5 tahun), R = 28,4 % dan ROI = 31,2 %(dibulatkan). Dengan demikian sutera memiliki peluang besar untuk dikembangkan

b.  Gaharu
Gaharu memiliki harga ekonomis yang tinggi serta dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu saat ini belum terlalu banyak dikenal. Hanya orang tertentu yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun. Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Sehingga warga memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 6 sampai 8 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu. Sementara harga getah gaharu mencapai Rp 5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta/kg (Anonim, 2004).
Hanya saja, keberadaan jenis penghasil gaharu alam semakin langka. Saat ini jenis A. malaccensisAppendiks II (langka) menurut CITES, sehingga ekspor atau perdagangannya dipantau dan dibatasi oleh Quota. Gaharu masih dapat dikembangkan pada lahan rakyat. Peluang usaha sangat menjanjikan karena, tingginya harga gubal gaharu disebabkan karena semakin kelangkaannya, disamping kebutuhan akan gaharu itu sendiri. Tidak semua pohon gaharu yang tumbuh secara alam dapat langsung menghasilkan gubal gaharu. Diperlukan teknologi untuk mempercepat pembentukan gubal gaharu. Agribisnis budidaya gaharu merupakan peluang yang menjanjikan.
Berdasarkan analisis finansial yang dilakukan oleh Sidik (2007) dalam Suryandari (2008), budidaya gaharu dianggap layak untuk dikembangkan dengan asumsi dalam 1 ha lahan ditanami tanaman penghasil gaharu, kopi, sengon (sebagai pelindung gaharu), pisang dan vanili dengan tingkat pengembalian 8 tahun. Analisis tersebut menghasilkan nilai usaha sebagai berikut: NVP Rp. 605.984.000, BCR 11.88 dan IRR 67.1 % pada tingkat suku bunga 18 %.

HOLOSELULOSA

Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas sari dan lignin. Holoselulosa ini  merupakan fraksi karbohidrat total dalam kayu sebagai komponen struktural penyusun dinding sel yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa, biasanya warna holoselulosa tergantung pada jenis kayunya dari berwarna putih hingga kekuning-kuningan. Kadar holoselulosa dalam kayu merupakan jumlah dari senyawa polisakarida dalam kayu (selulosa dan hemiselulosa). Polisakarida merupakan polimer dari molekul monosakarida yang mempunyai unsur karbon, hidrogen dan oksigen, dengan rantai lurus dan bercabang. Dalam kayu senyawa polisakarida banyak terdapat pada bagian dinding sel sekunder yang berfungsi untuk memperkuat struktur yang di dalamnya mengandung senyawaa glukomanan, arabinosa, galaktosa, glukoronoxylan, glukosa, asam uronat, dan xylosa.
Selulosa merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman berkayu. Bahan tersebut utamanya terdapat pada tanaman kertas, namun demikian pada dasamya selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling sederhana sekalipun, seperti: jamur, ganggang dan lumut. Selulosa adalah polisakarida linier, terdiri dari satuan anhidroglukosa dengan ikatan 7-49 glukosidik yang pada hidrolisa dalam suasana asam menghasilkan D-glukosa. Sedangkan hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, yang pada hidrolisa menghasilkan D-manosa, D-galaktosa, D-glukosa, D-xylosa, L-arabinosa, dan asam- asam uronat.
Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
·        Selulosa α adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga atau penentuan kemurnian selulosa.
·        Selulosa βadalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (derajat polimerisasi) 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan.
·        Selulosa µ memiliki sifat yang sama dengan selulosa β tetapi memiliki Dp (derajat polimerisasi) kurang dari 15.
Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (mumi).  Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain (serat rayon).
Selulosa dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat (NC), asam sulfat (SC) dan asam fosfat (FC). Dari ketiga unsur tersebut, NC memiliki nilai ekonomis yang strategis dari pada asam sulfat (SC) dan fosfat (FC) karena dapat digunakan sebagai sumber bahan baku propelan atau bahan peledak pada industri pembuatan munisi dan Abahan peledak.

Selasa, 27 Desember 2011

FRAKSINASI BERTINGKAT


Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran (padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989).
Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Emapat tahapan fraksinasi bertingkat dengan menggunakan  empat macam pelarut yaitu (1) ekstraksi aseton, (2) fraksinasi n-heksan, (3) fraksinasi etil eter, dan (4) fraksinasi etil asetat (Lestari dan Pari 1990).
Ekstraksi merupakan suatu proses penyaringan suatu senyawa kimia dari suatu bahan alam dengsan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bisa dilakukan dengan berbgai macam metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini dapat digunakan sampel dalam keadaan segar  atau yang telah dikeringkan. Tergantung pada sifat tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi. Untuk mengekstraksi senyawa utama yang terdapat dalam bahan tumbuhan dapat digunakan pelarut yang cocok.
Banyak metode yang digunakan untuk proses ekstraksi, baik dengan cara dingin maupun dengan cara panas. Cara dingin meliputi maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas meliputi refluks, digesti, infus, dekok, dan sokletasi.
Cara Dingin
1.      Maserasi
Salah satu metode yang digunakan dalam fraksinasi adalah dengan menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik pada temperatur ruangan proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel karena perbedaan tekanan antara di dalam dan luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan kelarutan senyawa bahan organik dalam pelarut tersebut. Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder. Maserasi yang digunakan mempengaruhi tinggi rendahnya rendemen yang didapat, biasanya digunakan untuk mendapatkan zat warna alami dari ekstraktif. Kelebihan metode maserasi pada ekstraksi zat warna alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari maserasi adalah cara pengerjaan yang dilakukan lebih sederhana  dan dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah banyak pelarut yng dibutuhkan selama proses maserasi dan waktu yang dibutuhkan lama (Irwan 2010).

2.      Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyaringan yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Kekuatan yang berperan pada perkolasi adalah gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler, dan daya geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik jika dibandingkan dengan cara maserasi karena
a.       Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehungga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
b.      Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari karena kecilnya saluran kapiler tersebut maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.
c.       Selain itu, penggunaan metode perkolasi lebih mengefisienkan waktu dan jumlah pelarut jika dibandingkan dengan metode maserasi (Irwan 2010).
Cara panas
1.      Refluks
Metode ini akan digunakan apabila dalam sintesis senyawa tersebut menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemansan yang biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan hingga selesai. Prinsip dari metode ini adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi. Namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan akan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang masuk terutama senyawa golongan anorganik karena sifatnya yang reaktif (Sukmana 2010).

2.      Digesti
Digesti adalah metode ekstraksi dengan pemanasan lemah yaitu pada suhu 400-500C. Cara ini hanya dapat digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Dengan pemanasan diperoleh keuntungan antara lain
a.       Kekentalan pelarut berkurang yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas.
b.      Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat sehingga pemanasan tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
c.       Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan perpengaruh terhadap kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
d.      Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan maka perlu dilengkapi dengan pendingin yang baiksehingga cairan akan menguap kembali ke bejana.

3.      Sokletasi
Merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan dengan memakai alat soklet. Pada cara ini pelarut dan simplisia ditempatkan secara terpisah. Sokletasi digunakan untuk simplisis dengan kaasiat yang relatif stabil dan tahan terhadap pemanasn. Prinsip sokletasi adalah penyaringan secara terus-menerus sehingga penyaringan lebih sempurna dengan memakai pelarut yang relatif sedikit. Jika penyaringan telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah zat yang tersari. Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap dan memiliki titik didih yang rendah.

4.      Infudasi
Infudasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900C selama 15 menit. Proses penyaringan yang umumnya digunakan menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Penyaringan dengan metode ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dari cairan ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Irwan 2010).
5.      Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90C selama 30 menit. Peguapan ekstrak larutan dilakukan dengan penguap berpusing dengan pengurangan tekanan yaitu rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak yang kentaln (Harborne 1987).

Serbuk kayu yang digunakan pada praktikum kali ini adalah dari jenis Acasia mangium. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan kondisi normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada kondisi luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung diletakkan di atas tanah. Kayu akasia memiliki teras yang berwarna coklat muda hingga coklat tua kehijauan. Kayu gubal berwarna krem keputihan, sangat jelas dan mudah dibedakan dengan kayu terasnya. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan kondisi normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada kondisi luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung diletakkan di atas tanah.
Hasil praktikum fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dari 2000 gram serbuk kayu akasia (kadar air 13,94%) adalah 172,543 gram (19,660%). Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut-pelarut yang tidak bercampur (solvent-solvent extraction) secara berturut-turut dengan n-heksan, etil eter dan etil asetat.  Kandungan zat ekstraktif fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kayu akasia.


Jenis Fraksi
Berat Ekstrak Padatan (gram)*)
Kadar Ekstrak (%)*)
Fraksi n-Heksan
7,39
0,84
Fraksi Etil Eter
69,43
7,91
Fraksi Etil Asetat
36,65
4,18
Fraksi Residu
59,07
6,73
Ekstrak Aseton
172,54
19,66
Keterangan: *) dihitung berdasarkan berat kering oven

Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kayu akasia sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari 1990) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika kadar zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kayu akasia yang diperoleh tergolong tinggi.
Kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar ekstraktif rendah. Tetapi faktor ketahanan kayu lebih tergantung kepada senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada zat ekstraktif tersebut (Lestari dan Pari 1990).
Perbedaan kandungan zat ekstraktif kayu maupun kulit kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jenis kayu, jenis pelarut yang digunakan, ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman dan kadar air serbuk. Kandungan zat ekstraktif setiap jenis kayu tidak sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan setiap jenis kayu memiliki kandungan ekstrak aseton yang berbeda-beda.
Pelarut aseton digunakan dalam praktikum fraksinasi bertingkat ini dengan pertimbangan bahwa pelarut ini memiliki sifat baik yaitu dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan.  Selain itu, pelarut aseton memiliki nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang tinggi sehingga zat ekstraktif yang terlarut cenderung bersifat polar.
Zat ekstraktif pada kayu teras lebih beracun jika dibandingkan dengan kayu gubal pada pohon yang sama dan keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila kayu tersebut di ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik (Syafii dan Yoshimoto 1993). Hasil dari ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol kayu teras memiliki karakteristik resistensi terhadap rayap tanah yang lebih tinggi dari kulit dan kayu gubalnya. Hanum and Van Der Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoid dalam jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne (1987) menyatakan bahwa senyawa yang tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu, kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap serangga perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami kayu.

Daftar Pustaka
Irwan. 2010. Ekstraksi Menggunakan Proses Infudasi, Maserasi, dan Perkolasi. (Terhubung Berkala). http://www.irwanfarmasi.blogspot.com/2010. (11 Juni 2011).
Sukmana N. C. 2010. Metode Sintesis Refluks. (Terhubung Berkala). http://www.ndarucs.blogspot.com. (11 Juni 2010).
Adijuwana, Nur M.A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan VII (3) : 96-100.
Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their Influences on The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical Agricultural. Volume 4, Number 2.
Hanum IF, Van Der Maesen LJG (Editor). 1997. Plant Resources of South East Asia. No.11. Bogor :PROSEA.

PERENCANAAN KONSERVASI TANAH DAN AIR (Perencanaan Konservasi Partisipatif)


 Erosi merupakan salah satu masalah lahan sejak pengelolaan lahan dilakukan secara intensif. Hal tersebut berbanding lurus dengan kebutuhan sandang, pangan, papan, serta sejalan ppula dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk. Seperti apa yang dikatakan Lal (1994), menyatakan bahwa produktivitas lahan seluas ±20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol atau naik menjadi tidak ekonomis lagi disebabkan oleh erosi atau degradasi yang disebabkan oleh erosi.
Penurunan produktivitas lahan dimana erosi terjadi baru merupakan on-site effect dari erosi, belum termasuk kerugian yang disebabkan oleh off-site effect dari erosi seperti sedimentasi sungai, waduk, jaringan irigasi, dan berbagai kerusakan lainnya. Untuk negara tropis seperti Indonesia, dimana potensi erosi begitu besar, baik akrena faktor alami maupun karena aspek pengelolaan lahan, kerugian yang diakibatkan oleh erosi tidak akan kalah besarnya dengan yang terjadi di negara subtropika. Dengan besarnya resiko yang akan terjadi, maka pencegahan erosi merupakan aspek yang tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan  lahan, baik untuk pertanian maupun penggunaan lain. Pencegahan tersebut yaitu pencegahan erosi yakni dengan tindakan konservasi tanah dan air yang sudah harus diperhitungkan sejak perencanaan penggunaan lahan dilakukan. Selanjutnya perlu Fdilakukan evaluasi dari perencanaan dan teknik konservasi tersebut agar dapat diyakini bahwa sistem pengelolaan lahan yang diterapkan sudah memadai untuk terwujudnya sisitem pengelolaan lahan secara berkelanjutan.
Pengelolaan lahan untuk mencegah erosi ini ditekan sampai di bawah ambang batas erosi diperbolehkan.
Perencanaan konservasi tanah dapat menggunakan model pendugaan erosi. Terdapat tiga alasan mengapa digunakannya permodelan erosi untuk perencanaan konservasi tanah, yaitu (1) model erosi dapat digunakan sebagai alat predikasi untuk menilai atau menaksir kehilangan tanah yang ebrguna untuk perencanaan konservasi tanah, perencanaan proyek, inventarisasi erosi tanah, dan dasar pembuatan peraturan; (2) model-model matematik yang didasarkan pada proses fisik dan kapan erosi terjadi sehingga dapat membantu para perencana konservasi tanah dalam menentukan targetnya untuk menurunkan erosi, serta (3) model dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami proses-proses erosi dan interaksinya dan untuk penetapan prioritas penelitian.
Secara ideal, metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu dapat diandalkan, secara universal dapat digunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum, konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan serta mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi tanah. USLE merupakan salah satu metode alternatif yang memenuhi persyaratan serta cukup konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan yakni menggunakan enam faktor erosi dalam proses perhitungan. Model ini juga cukup mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi, diantaranya karena berbagai percobaan untuk mendapatkan nilai faktor C (crop) dan P (pengelolaan) telah banyak dilakukan di Indonesia sehingga model ini dapat diaplikasikan dalam kondisi yang relatif sesuai.

Jumat, 18 November 2011

PENGAMATAN TERHADAP STRUKTUR ANATOMI KAYU KARET (Hevea brasiliensis Mull Arg.)



Karet adalah tanaman perkebunan yang pertama kali di temukan di Brasil dan kemudian dibudidayakan tahun 1601. Pohon karet pertama kali di bududayakan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, pada tahun 1876 (Siswanto dan Mudji 2002). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah khatulistiwa antara 5°LS dan 6°LU dengan suhu rata-rata 28°C pada ketinggian antara 1-1000 mdpl. Karet dapat tumbuh optimal pada suhu antara 24-28°C, kelembaban tinggi, curah hujan optimal antara 1500-200 mm/tahun (Siswanto dan Mudji 2002).