Jumat, 18 November 2011

PENGAMATAN TERHADAP STRUKTUR ANATOMI KAYU KARET (Hevea brasiliensis Mull Arg.)



Karet adalah tanaman perkebunan yang pertama kali di temukan di Brasil dan kemudian dibudidayakan tahun 1601. Pohon karet pertama kali di bududayakan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura, pada tahun 1876 (Siswanto dan Mudji 2002). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah khatulistiwa antara 5°LS dan 6°LU dengan suhu rata-rata 28°C pada ketinggian antara 1-1000 mdpl. Karet dapat tumbuh optimal pada suhu antara 24-28°C, kelembaban tinggi, curah hujan optimal antara 1500-200 mm/tahun (Siswanto dan Mudji 2002).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar dengan tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus, tidak silindris dan memiliki percabangan yang tinggi diatas dengan diameter setinggi dada rata-rata 30 cm. Batang bebas cabang berkisar 2-4 meter. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun.

Panjang tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, tepinya rata dan gundul. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar.

Ciri Umum

# Warna
Kayu teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang agak merah jambu segar, lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat muda sedangkan kayu gubal berwarna putih. Batas antara kayu gubal dan kayu teras tidaklah jelas (Martawijaya 1972).

#Tekstur
Tekstur kayu karet agak kasar tetapi rata.


#Arah Serat
Berdasarkan pada pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis dengan preparat kayu karet yang telah diawetkan arah seratnya lurus sampai agak terpadu.

#Kesan Raba
Kesan raba kayu karet agak kasar


#Kilap
Permukaan kayu karet yang terlihat agak kusam dan  sering tampak garis kehitam-hitaman akibat adanya lapisan tipis kulit yang tersisip.

#Bau
Bau yang tercium dari kayu karet adalah berbau lateks.

#Kekerasan
Kayu karet tergolong kayu agak lunak hingga agak keras dengan densitas antara 435-625 kg/m3 dan berat jenis rata-rata 0,61 ( 0,55-0,70).

#Kegunaan
Kayu karet banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, kayu bentukan, misalnya panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, vinir, kayu lamina untuk tangga, kerangka pintu dan jendela.


STRUKTUR ANATOMI

#Pori
Jumlah pori yang ditemukan pada foto makroskopis dengan ukuran 3x4 mm berjumlah 37 pori. Hal ini sesuai dengan literatur yang menunjukkan pori soliter dan berganda radial dengan jumlah pori antara 2-4 pori namun terkadang bisa mencapai 5-8 pori yang tersebar merata. Beberapa pori bergerombol, ukuran agak kecil hingga besar, dengan jumlah pori 3-4 pori/mm3.

#Parenkim
Parenkim pada kayu karet tidak ditemukan pada pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis dengan preparat awetan yang telah dibuat. Namun pengamatan yang dilakukan dengan foto bidang lintang  menunjukkan parenkim kayu karet berupa pita-pita halus putus-putus yang berjarak agak teratur dan rapat yang lebarnya terdiri dari tiga sel.

#Jari-jari
Jari- jari kayu karet agak sempit sampai agak lebar dengan jumlah 7-10 jari-jari/mm2 dengan tinggi rata-rata 1,8 mm.


#Trakeida
Trakeida (pori-pori yang terdapat pada kayu ini) tersusun baur, soliter, memiliki bidang perforasi sederhana. Jumlah pori atau pembuluh yang ditemukan mengandung tilosis pada foto bidang lintang sebanyak 3 buah pembuluh sehingga bisa disebut jarang. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahawa tilosis pada kayu karet jarang hingga banyak.

#Serat
Menurut hasil pengamatan panjang serat rata-rata 1138,594 , diameter serat rata-rata  26,453 , diameter lumen rata-rata 19,679 dan tebal dinding serat rata-rata 3,387.


FOTO MIKROSKOPIS





 

Berdasarkan nilai scoring yang ditunjukkan pada tabel di atas, nilai mutu serat pada kayu Hevea brasiliensis (karet) lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Acasia mangium (akasia) walaupun kedua nilai tersebut masuk ke dalam range nilai pada kelas II. Jika dilihat dari kriteria secara keseluruhan kayu H. brasiliensis (karet) lebih cocok untuk dijadikan bahan pulp dan kertas dibandingkan dengan kayu A. mangium (akasia). Hal ini dapat dilihat dari panjang serat pada kayu H. brasiliensis (1138,594) lebih panjang jika dibandingkan dengan kayu A. mangium ( 1017,5), walaupun perbedaan panjang serat antara kedua kayu tidak terlalu signifikan. Panjang serat dianggap sebagai salah satu dimensi yang memegang peranan utama dalam kekuatan sobek sebab panjang serat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kertas seperti kekuatan dan kekakuan.
 

Semakin tinggi perbandingan panjang serat dengan diameter serat akan semakin tinggi pula kekuatan sobek dan daya tenunnya. Serat panjang memungkunkan terjadinya ikatan antar serat yang lebih luas tetapi dengan semakin panjang serat maka kertas akan semakin kasar. Serat kayu yang lebih panjang akan menghasilkan lembaran kertas yang memiliki kekakuan yang lebih baik karena memiliki daerah ikatan antar serat yang lebih luas pada saat penggilingan dan sifat penyebaran tekanan (stress transfer) yang lebih baik. Sifat kekuatan lembaran yang dipengaruhi oleh ukuran panjang serat adalah ketahanan tarik, ketahanan lipat dan terutama ketahanan sobek.  Namun, di sisi lain serat kayu yang lebih pendek akan menghasilkan kertas yang lebih halus dan seragam (Casey 1980).
 

Apalagi jika dilihat dari nilai Runkel Ratio (RR) kayu A. mangium yang lebih tinggi (0,73) dibandingkan dengan kayu H. brasiliensis (0,357). Nilai RR H. brasiliensis masuk ke dalam range nilai RR golongan ke II yaitu antara 0,25-0,50, ini berarti kayu H. brasiliensis memiliki dinding yang tipis dan lumen yang lebar. Serat dengan RR yang rendah akan lebih mudah digiling dan memiliki daerah ikatan antar serat yang lebih luas sehingga akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik, dan lipat yang tinggi.
 

Nilai FP dari kayu A. mangium (50,12) lebih tinggi daripada kayu H. brasiliensis (43,714). Walaupun nilai FP diantara keduanya tidak terlalu signifikan, tetapi nilai ini sangat berpengaruh pada kekuatan sobek. Semakin tinggi nilai FP maka sifat serat cenderung akan lebih lentur. Serat dengan dinding sel yang tipis akan cenderung memberikan kekuatan sobek yang rendah. Jalinan ikatan antar serat yang lebih baik dapat diperoleh dari serat yang lebih panjang karena berperan meningkatkan kekuatan sobek kertas. Hal ini  disebabkan karena daya sobek akan terbagi dalam luas yang panjang. Diameter serat menunjukkan tingkat kelangsingannya. Serat yang langsing mudah membentuk jalinan sehingga terbentuk lembaran dengan sifat-sifat yang baik.
 

Nilai MR kayu H. brasiliensis (45,140) lebih kecil jika dibandingkan dengan MR kayu A. mangium (66,21) sehingga kayu H. brasiliensis lebih baik digunakan sebagai bahan baku pulp jika dibandingkan dengan kayu A. mangium. Hal ini karena MR sangat berpengaruh terhadap kerapatan lembaran pulp. Serat kayu dengan MR yang tinggi memiliki luas permukaan yang lebih kecil sehingga luas daerah ikatan dan kontak antar seratnya menurun. Hal ini menyebabkan lembaran kertas yang dihasilkan cenderung memiliki katahanan tarik dan ketahanan retak yang rendah.
 

Kayu H. brasiliensis memiliki nilai FR yang lebih tinggi sebesar 1, 357 dibandingkan dengan kayu A. mangium yaitu sebesar 0,58. Perbedaan yang terjadi diantara kedua kayu sangat signifikan. Hal ini akan menyebabkan kayu H. brasiliensis lebih baik untuk dijadikan bahan baku pulp. Hal ini disebabkan FR memiliki peran dalam perkembangan kontak antar serat. Serat dengan nilai Fr yang tinggi memiliki tebal dinding yang relatif tipis dan dapat dengan mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antar permukaan serat lebih leluasa dan lebih mudah ditarik ke dalam kontak yang dekat satu sama lain oleh gaya tegangan permukaan ketika air dihilangkan pada tahap pembuatan lembaran dan pengeringan kertas. Hal ini akan mendukung terjadinya ikatan antar serat yang lebih sempurna sehingga menghasilkan lembaran dengan sifat kekuatan yang baik., porositas yang rendah dan kerapatan kertas yang tinggi.  Flesibilitas serat juga mempengaruhi beberapa sifat penting kertas lainnya seperti opasitas, permeabilitas udara, penyerapan cairan, dan ketahanan lemak (Casey 1980).
 

Setelah dilihat dari tabel kayu A. mangium memiliki CR yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan H. brasiliensis (0,21>0,13). Nilai CR ini sangat mempengaruhi kerapatan serat. Makin tinggi nilai CR maka makin tinggi pula kerapatan serat. Serat dengan kerapatan yang tinggi berpengaruh baik terhadap rendemen pulp (Panshin dan de Zeeuw 1980). Selain itu , jenis serat kayu yang mempunyai kerapatan tinggi juga dapat menghasilkan lembaran kertas dengan opasitas tinggi, lebih kasar, dimensi yang lebih besar, dan ketahanan sobek yang tinggi. Namun, lembaran kertas yang dihasilkan lebih kaku sehingga memiliki ketahanan lipat yang rendah. Jumlah ikatan serat yang terdapat pada lembaran kertas juga lebih sedikit sehingga cenderung memiliki ketahanan tarik dan retak yang rendah.
 

Diameter serat pada kayu H. brasiliensis berukuran 26,453 µm atau 0,026 mm. Ini membuktikan bahwa diameter serat pada kayu H. brasiliensis termasuk dalam serat berdiameter besar. Berdasarkan Casey (1980) menggolongkan diameter serat menjadi tiga kelas, yaitu serat berdiameter besar (0,025-0,026 mm), berdiameter sedang (0,010-0,025 mm) dan berdiameter kecil (0,002-0,010 mm). Diameter serat ini berpengaruh terhadap sifat kekuatan pulp, pembentukan lembaran, ikatan antar serat, dan kekuatan serat dalam lembaran. Serat dengan diemeter besar dan berdinding tipis mampu menghasilkan ikatan antar serat yang kuat dengan kekuatan lembaran yang tinggi sehingga kekuatan sobeknya menjadi kecil.
 

Tebal dinding serat pada kayu H. brasiliensis secara umum berdiameter sama yaitu 3,226 µm atau setara dengan 0,003 mm dengan tebal dinding  rata-rata sebesar 3,387 µm. Tebal dinding serat menentukan sifat-sifat kertas, dengan dinding yang tebal akan mengakibatkan lembaran kertas yang tebal dan kasar sehingga kekuatan sobek tinggi tetapi kekuatan jebol, tarik, dan lipat relatif rendah. Serat dengan dinding yang tipis mudah melembek dan menjadi pipih. Hal tersebut mengakibatkan permukaan menjadi luas sehingga serat dapat berikatan dengan leluasa. Namun apabila seratnya berdinding tebal sukar untuk melembek dan bentuknya tetap membulat pada saat pembentukan lembaran. Struktur tersebut menyulitkan dalam penggilingan dan akan memberikan kekuatan sobek yang tinggi, berbeda dengan serat berdinding tipis yang memberikan sifat kekuatan sobek yang rendah tetapi memiliki kekuatan tari, jebol, dan kekuatan lipatnya yang tinggi (Casey 1980).

Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipastikan bahwa kayu H. brasiliensis dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas yang lebih baik dari kayu A. mangium. Oleh karena itu keberadaan kayu H. brasiliensis seharusnya mulai dipromosikan sebagai bahan baku substitusi pulp dan kertas, sehingga diharapakan dengan substitusi ini kertas yang dihasilkan lebih berkualitas.



DAFTAR PUSTAKA


  • Casey J. P. 1980. Pulp, Paper Chemistry and Chemical Technology. Third Edition. Vol. 1. Willey Interscience Publisher Inc. New York. 
  • Martawijaya A. 1972. Keawetan dan Pengawetan Kayu Karet. Laporan No 1. Bogor: LPPH.
  • Panshin  A. J. And de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Third Edition. Mc Graw Hill Book Company. New York.
  • Sahri M. H., F. H Ismail, dan N. A. Saleh. 1993. Anatomy of Acasia mangium Grown in Malaysia. IAWA. Bulletin n.s Vol. 10 (4), 1989: 364-373.
  • Siswanto dan Mudji A. 2002. Karet (Hevea brasiliensis Mull. Arg). Balai Penelitian Tanaman Karet.
  • Van Steenis, C. G. G. J. 2005. Flora: Untuk Sekolah Di Indonesia. Jakarta: Pradnya paramita.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar