Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 35 tahun 2007, HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. HHBK ini merupakan sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. Hasil hutan bukan kayu adalah barang yang telah dipungut secara rutin sejak hutan dikenal manusia, dan diambil manfaatnya untuk berbagai tujuan, seperti meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sekitar hutan. Tentunya dengan pemanfaatan yang optimal dan intensif serta terencana dari industry hulu hingga hilir.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan hasil hutan non-kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, sutera alam, gondorukem, dll. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri.
Prospek HHBK dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan adanya batasan pemanenan kayu sebagai komoditi utama hutan. Makalah ini akan menyajikan beberapa hasil penelitian ekonomi terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Penyajian makalah ini ditujukan untuk melihat seberapa besar prospek HHBK untuk dikembangkan dan kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat, agar dapat menarik minat para masyarakat dalam mengembang usaha pada HHBK.
Produk HHBK yang disajikan terdiri dari 5 komoditas HHBK unggulan nasional (bambu, sutera alam, lebah madu, gaharu dan rotan) dan komoditas unggulan daerah. Hasil hutan bukan kayu unggulan nasional tersebut terdiri dari 5 komoditi, yaitu sutera alam, gaharu, bambu, rotan, dan lebah madu. Lima komodoti tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No.35/Menhut-II/2007.
a. Sutera alam
Pengembangan persuteraan alam yang merupakan kegiatan agroindustri yang meliputi pembibitan ulat sutera, budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, pertenunan, pembatikan/pencelupan, garmen dan pembuatan barang jadi lain termasuk pemasarannya. Sebagai contoh studi kasus pengembangan ulat sutera si Cianjur. Dalam penyediaan ulat sutera, setiap petani menerima ulat kecil instar 3 dari perusahaan intinya untuk memelihara ulat tersebut atau kelompok tani yang telah mampu memelihara ulat kecil. Bibit telur yang diproduksi adalah jenis Bivoltin, dengan sumber bibit telur ulat berasal dari Perum Perhutani. Namun, sampat saat ini, sertifikasi telur belum dapat dilakukan.
Kabupaten Cianjur hingga saat ini baru mengembangkan industri benang sutera, namun benang yang dihasilkan dari reeling dan re-reeling dari mesin sederhana kualitasnya masih belum optimal. Di Kabupaten Cianjur, ada kelompok yang akan memproduksi benang dan bersedia menjadi mitra petani yaitu PT. Petromat Surya Nusantara, KUB Aurarista dan Vedca.
Dalam prosesnya, benang sutera yang dihasilkan dari reeling dan re-reeling setelah di twisting digunakan untuk kegiatan pertenunan. Daerah pertenunan kain sutera antara lain di Sukabumi, Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Kebutuhan benang sutera untuk Jawa Barat adalah sebanyak 1100 kg pada tahun 2007. Kebutuhan benang sutera dunia saat ini mencapai 118.000 ton per tahun, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan benang 81,5 ton/tahun. Sementara kebutuhan benang sutera domestik 700 ton/tahun, sisanya sebesar 618,5 ton di impor dari China. Sementara kebutuhan kain sutera untuk industri batik, berdasarkan hasil survey pada tahun 2003, yaitu :
o Pekalongan : 400.000 m setara dengan 40 ton benang
o Solo : 350.000 m setara dengan 35 ton benang
o Cirebon : 250.000 m setara dengan 25 ton benang
o Garut & Tasikmalaya : 150.000 m setara dengan 15 ton benang
Tingkat produksi kokon hasil pemeliharaan petani masih sangat beragam, yaitu berkisar dari 12 – 43 kg per boks. Dengan produksi kokon sebesar 8.220 kg per tahun. Untuk tingkat perkembangan harga saat ini harga telur ulat sutera 45.000/box belum termasuk ongkos kirim. Jumlah per boks 25.000. Harga ulat kecil untuk petani pemelihara ulat besar Rp. 125.000,-. Harga kokon masih berfluktuasi, berkisar Rp. 13.000 – Rp. 25.000 /kg. Sedangkan harga benang sutera saat ini antara 280.000 per kilogram (Armando, 2008).
Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka prospek budi daya ulat sutera di masa mendatang akan sangat cerah. Apalagi dengan berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai denga meningkatnya arus kunjungan wisatawan asin yang ternyata menberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negeri. Hal ini dapat diharapkan akan menamabah peluang bagi usaha budi daya ulat sutera dan kain sutera. Berdasarkan hasil kajian kelayakan finansial budidaya ulat sutera yang dilakukan di Taroggong dan kawasan Garut selatan pada lahan rakyat dengan luasan 1 ha, diperoleh nilai feasibilitas : BEP = Rp 1.587.702, payback period = 2,5 th (2 th 6 bulan), NPV = Rp 4.902.000 (estimasi rr=12% dalam waktu 5 tahun), R = 28,4 % dan ROI = 31,2 %(dibulatkan). Dengan demikian sutera memiliki peluang besar untuk dikembangkan
b. Gaharu
Gaharu memiliki harga ekonomis yang tinggi serta dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu saat ini belum terlalu banyak dikenal. Hanya orang tertentu yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun. Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Sehingga warga memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 6 sampai 8 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu. Sementara harga getah gaharu mencapai Rp 5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta/kg (Anonim, 2004).
Hanya saja, keberadaan jenis penghasil gaharu alam semakin langka. Saat ini jenis A. malaccensisAppendiks II (langka) menurut CITES, sehingga ekspor atau perdagangannya dipantau dan dibatasi oleh Quota. Gaharu masih dapat dikembangkan pada lahan rakyat. Peluang usaha sangat menjanjikan karena, tingginya harga gubal gaharu disebabkan karena semakin kelangkaannya, disamping kebutuhan akan gaharu itu sendiri. Tidak semua pohon gaharu yang tumbuh secara alam dapat langsung menghasilkan gubal gaharu. Diperlukan teknologi untuk mempercepat pembentukan gubal gaharu. Agribisnis budidaya gaharu merupakan peluang yang menjanjikan.
Berdasarkan analisis finansial yang dilakukan oleh Sidik (2007) dalam Suryandari (2008), budidaya gaharu dianggap layak untuk dikembangkan dengan asumsi dalam 1 ha lahan ditanami tanaman penghasil gaharu, kopi, sengon (sebagai pelindung gaharu), pisang dan vanili dengan tingkat pengembalian 8 tahun. Analisis tersebut menghasilkan nilai usaha sebagai berikut: NVP Rp. 605.984.000, BCR 11.88 dan IRR 67.1 % pada tingkat suku bunga 18 %.