Selasa, 27 Desember 2011

FRAKSINASI BERTINGKAT


Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran (padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur 1989).
Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Emapat tahapan fraksinasi bertingkat dengan menggunakan  empat macam pelarut yaitu (1) ekstraksi aseton, (2) fraksinasi n-heksan, (3) fraksinasi etil eter, dan (4) fraksinasi etil asetat (Lestari dan Pari 1990).
Ekstraksi merupakan suatu proses penyaringan suatu senyawa kimia dari suatu bahan alam dengsan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bisa dilakukan dengan berbgai macam metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini dapat digunakan sampel dalam keadaan segar  atau yang telah dikeringkan. Tergantung pada sifat tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi. Untuk mengekstraksi senyawa utama yang terdapat dalam bahan tumbuhan dapat digunakan pelarut yang cocok.
Banyak metode yang digunakan untuk proses ekstraksi, baik dengan cara dingin maupun dengan cara panas. Cara dingin meliputi maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas meliputi refluks, digesti, infus, dekok, dan sokletasi.
Cara Dingin
1.      Maserasi
Salah satu metode yang digunakan dalam fraksinasi adalah dengan menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik pada temperatur ruangan proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel akan terjadi pemecahan dinding sel dan membran sel karena perbedaan tekanan antara di dalam dan luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan kelarutan senyawa bahan organik dalam pelarut tersebut. Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alami karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder. Maserasi yang digunakan mempengaruhi tinggi rendahnya rendemen yang didapat, biasanya digunakan untuk mendapatkan zat warna alami dari ekstraktif. Kelebihan metode maserasi pada ekstraksi zat warna alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari maserasi adalah cara pengerjaan yang dilakukan lebih sederhana  dan dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah banyak pelarut yng dibutuhkan selama proses maserasi dan waktu yang dibutuhkan lama (Irwan 2010).

2.      Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyaringan yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Kekuatan yang berperan pada perkolasi adalah gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler, dan daya geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik jika dibandingkan dengan cara maserasi karena
a.       Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehungga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
b.      Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari karena kecilnya saluran kapiler tersebut maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.
c.       Selain itu, penggunaan metode perkolasi lebih mengefisienkan waktu dan jumlah pelarut jika dibandingkan dengan metode maserasi (Irwan 2010).
Cara panas
1.      Refluks
Metode ini akan digunakan apabila dalam sintesis senyawa tersebut menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemansan yang biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan hingga selesai. Prinsip dari metode ini adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi. Namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan akan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang masuk terutama senyawa golongan anorganik karena sifatnya yang reaktif (Sukmana 2010).

2.      Digesti
Digesti adalah metode ekstraksi dengan pemanasan lemah yaitu pada suhu 400-500C. Cara ini hanya dapat digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Dengan pemanasan diperoleh keuntungan antara lain
a.       Kekentalan pelarut berkurang yang dapat mengakibatkan berkurangnya lapisan-lapisan batas.
b.      Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat sehingga pemanasan tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
c.       Koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolute dan berbanding terbalik dengan kekentalan, sehingga kenaikan suhu akan perpengaruh terhadap kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
d.      Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu yang digunakan maka perlu dilengkapi dengan pendingin yang baiksehingga cairan akan menguap kembali ke bejana.

3.      Sokletasi
Merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan dengan memakai alat soklet. Pada cara ini pelarut dan simplisia ditempatkan secara terpisah. Sokletasi digunakan untuk simplisis dengan kaasiat yang relatif stabil dan tahan terhadap pemanasn. Prinsip sokletasi adalah penyaringan secara terus-menerus sehingga penyaringan lebih sempurna dengan memakai pelarut yang relatif sedikit. Jika penyaringan telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan sisanya adalah zat yang tersari. Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap dan memiliki titik didih yang rendah.

4.      Infudasi
Infudasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900C selama 15 menit. Proses penyaringan yang umumnya digunakan menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Penyaringan dengan metode ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dari cairan ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Irwan 2010).
5.      Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90C selama 30 menit. Peguapan ekstrak larutan dilakukan dengan penguap berpusing dengan pengurangan tekanan yaitu rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak yang kentaln (Harborne 1987).

Serbuk kayu yang digunakan pada praktikum kali ini adalah dari jenis Acasia mangium. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan kondisi normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada kondisi luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung diletakkan di atas tanah. Kayu akasia memiliki teras yang berwarna coklat muda hingga coklat tua kehijauan. Kayu gubal berwarna krem keputihan, sangat jelas dan mudah dibedakan dengan kayu terasnya. Akasia termasuk pada kayu kelas awet 3, cukup tahan terhadap cuaca dan kondisi normal akan tetapi akan mudah terserang jamur dan serangga apabila diletakkan pada kondisi luar ruangan yang terlalu basah. Kurang baik untuk pemakaian yang langsung diletakkan di atas tanah.
Hasil praktikum fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang diperoleh dari 2000 gram serbuk kayu akasia (kadar air 13,94%) adalah 172,543 gram (19,660%). Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut-pelarut yang tidak bercampur (solvent-solvent extraction) secara berturut-turut dengan n-heksan, etil eter dan etil asetat.  Kandungan zat ekstraktif fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kayu akasia.


Jenis Fraksi
Berat Ekstrak Padatan (gram)*)
Kadar Ekstrak (%)*)
Fraksi n-Heksan
7,39
0,84
Fraksi Etil Eter
69,43
7,91
Fraksi Etil Asetat
36,65
4,18
Fraksi Residu
59,07
6,73
Ekstrak Aseton
172,54
19,66
Keterangan: *) dihitung berdasarkan berat kering oven

Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kayu akasia sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari 1990) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika kadar zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kayu akasia yang diperoleh tergolong tinggi.
Kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar ekstraktif rendah. Tetapi faktor ketahanan kayu lebih tergantung kepada senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada zat ekstraktif tersebut (Lestari dan Pari 1990).
Perbedaan kandungan zat ekstraktif kayu maupun kulit kayu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jenis kayu, jenis pelarut yang digunakan, ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman dan kadar air serbuk. Kandungan zat ekstraktif setiap jenis kayu tidak sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan setiap jenis kayu memiliki kandungan ekstrak aseton yang berbeda-beda.
Pelarut aseton digunakan dalam praktikum fraksinasi bertingkat ini dengan pertimbangan bahwa pelarut ini memiliki sifat baik yaitu dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan.  Selain itu, pelarut aseton memiliki nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang tinggi sehingga zat ekstraktif yang terlarut cenderung bersifat polar.
Zat ekstraktif pada kayu teras lebih beracun jika dibandingkan dengan kayu gubal pada pohon yang sama dan keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila kayu tersebut di ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik (Syafii dan Yoshimoto 1993). Hasil dari ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol kayu teras memiliki karakteristik resistensi terhadap rayap tanah yang lebih tinggi dari kulit dan kayu gubalnya. Hanum and Van Der Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoid dalam jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne (1987) menyatakan bahwa senyawa yang tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu, kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap serangga perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami kayu.

Daftar Pustaka
Irwan. 2010. Ekstraksi Menggunakan Proses Infudasi, Maserasi, dan Perkolasi. (Terhubung Berkala). http://www.irwanfarmasi.blogspot.com/2010. (11 Juni 2011).
Sukmana N. C. 2010. Metode Sintesis Refluks. (Terhubung Berkala). http://www.ndarucs.blogspot.com. (11 Juni 2010).
Adijuwana, Nur M.A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan VII (3) : 96-100.
Syafii W, Yoshimoto T. 1993. Extractives from Some Tropical Hardwoods and Their Influences on The Growth of Wood-Decaying Fungi. Indonesian Journal of tropical Agricultural. Volume 4, Number 2.
Hanum IF, Van Der Maesen LJG (Editor). 1997. Plant Resources of South East Asia. No.11. Bogor :PROSEA.

PERENCANAAN KONSERVASI TANAH DAN AIR (Perencanaan Konservasi Partisipatif)


 Erosi merupakan salah satu masalah lahan sejak pengelolaan lahan dilakukan secara intensif. Hal tersebut berbanding lurus dengan kebutuhan sandang, pangan, papan, serta sejalan ppula dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk. Seperti apa yang dikatakan Lal (1994), menyatakan bahwa produktivitas lahan seluas ±20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol atau naik menjadi tidak ekonomis lagi disebabkan oleh erosi atau degradasi yang disebabkan oleh erosi.
Penurunan produktivitas lahan dimana erosi terjadi baru merupakan on-site effect dari erosi, belum termasuk kerugian yang disebabkan oleh off-site effect dari erosi seperti sedimentasi sungai, waduk, jaringan irigasi, dan berbagai kerusakan lainnya. Untuk negara tropis seperti Indonesia, dimana potensi erosi begitu besar, baik akrena faktor alami maupun karena aspek pengelolaan lahan, kerugian yang diakibatkan oleh erosi tidak akan kalah besarnya dengan yang terjadi di negara subtropika. Dengan besarnya resiko yang akan terjadi, maka pencegahan erosi merupakan aspek yang tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan  lahan, baik untuk pertanian maupun penggunaan lain. Pencegahan tersebut yaitu pencegahan erosi yakni dengan tindakan konservasi tanah dan air yang sudah harus diperhitungkan sejak perencanaan penggunaan lahan dilakukan. Selanjutnya perlu Fdilakukan evaluasi dari perencanaan dan teknik konservasi tersebut agar dapat diyakini bahwa sistem pengelolaan lahan yang diterapkan sudah memadai untuk terwujudnya sisitem pengelolaan lahan secara berkelanjutan.
Pengelolaan lahan untuk mencegah erosi ini ditekan sampai di bawah ambang batas erosi diperbolehkan.
Perencanaan konservasi tanah dapat menggunakan model pendugaan erosi. Terdapat tiga alasan mengapa digunakannya permodelan erosi untuk perencanaan konservasi tanah, yaitu (1) model erosi dapat digunakan sebagai alat predikasi untuk menilai atau menaksir kehilangan tanah yang ebrguna untuk perencanaan konservasi tanah, perencanaan proyek, inventarisasi erosi tanah, dan dasar pembuatan peraturan; (2) model-model matematik yang didasarkan pada proses fisik dan kapan erosi terjadi sehingga dapat membantu para perencana konservasi tanah dalam menentukan targetnya untuk menurunkan erosi, serta (3) model dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami proses-proses erosi dan interaksinya dan untuk penetapan prioritas penelitian.
Secara ideal, metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu dapat diandalkan, secara universal dapat digunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum, konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan serta mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi tanah. USLE merupakan salah satu metode alternatif yang memenuhi persyaratan serta cukup konprehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan yakni menggunakan enam faktor erosi dalam proses perhitungan. Model ini juga cukup mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi, diantaranya karena berbagai percobaan untuk mendapatkan nilai faktor C (crop) dan P (pengelolaan) telah banyak dilakukan di Indonesia sehingga model ini dapat diaplikasikan dalam kondisi yang relatif sesuai.